Bandung Barat- Warna jembar // Kasus keracunan massal yang melanda sejumlah siswa di wilayah Cisarua, Kabupaten Bandung Barat, terus menjadi perhatian publik.
Menyikapi hal ini, Anggota DPRD Kabupaten Bandung Barat, Fither Tjuandys, D.I.P., M.M, dari Komisi III yang juga mewakili Daerah Pemilihan III (Cisarua, Lembang, dan Parongpong), turun langsung meninjau lokasi kejadian dan rumah sakit tempat puluhan korban dirawat.
Dari hasil pantauannya, Pither menemukan fakta yang cukup mengkhawatirkan.
“Ada 39 orang yang dirawat di rumah sakit. Ini bukan hal sepele. Saya melihat langsung kondisi mereka dan memang ini harus menjadi perhatian serius pemerintah bersama DPRD,” ujarnya dengan tegas.
Pither menilai bahwa kasus ini tidak bisa hanya dianggap sebagai insiden biasa, melainkan bentuk kelalaian sistemik yang perlu diusut tuntas. Ia menegaskan agar Dinas terkait bersama Komisi III DPRD segera melakukan sidak mendalam ke dapur produksi MBG di Cisarua, karena dari sanalah makanan diduga berasal.
“Kita harus pastikan dapur MBG itu punya sertifikasi atau tidak. Kedua, para pekerjanya berpengalaman atau tidak dalam mengolah makanan catering. Dan yang ketiga, yang paling penting adalah proses pengadaan bahan baku hingga proses masaknya apakah sesuai SOP atau tidak,” terang Pither.
Ia juga menyoroti waktu dan cara pengolahan makanan yang dinilai tidak higienis. Menurutnya, ada kemungkinan makanan dimasak terlalu lama sebelum dikirim ke sekolah.
“Bayangkan, kalau masaknya jam 12 malam lalu dikirim jam 8 pagi, itu sudah lewat berjam-jam. Bagaimana kualitasnya? Bisa saja daging yang digunakan sudah tidak layak, terkontaminasi bakteri, tapi tetap dimasak dan disajikan,” tambahnya prihatin.
Pither pun menyerukan agar pemerintah tidak ragu mengambil langkah tegas.
“Kalau terbukti tidak memenuhi standar dan tidak bersertifikat, tutup saja! Ganti dengan penyedia yang benar-benar profesional, yang mampu menerapkan SOP dan menjaga keamanan makanan,” tegasnya.
Politisi dari Partai Demokrat ini juga menyoroti dampak psikologis yang dialami masyarakat. Ia mengungkapkan bahwa trauma akibat insiden ini begitu besar, hingga warga enggan lagi menyentuh makanan yang disediakan dari luar.
“Percaya atau tidak, masyarakat sekarang takut. Mereka lebih memilih membawa bekal sendiri dari rumah daripada harus makan makanan yang disediakan dari luar. Trauma ini nyata,” ujarnya.
Dalam pernyataannya, Pither menegaskan pentingnya pengawasan ketat oleh Dinas Pendidikan dan Dinas Kesehatan, serta peran Satuan Pelaksana Program Gizi (SPPG) dalam memastikan setiap vendor yang bekerja sama dengan sekolah memiliki izin dan sertifikasi yang jelas.
“SPPG dan dinas harus benar-benar melakukan pengawasan internal. Mereka yang menentukan siapa yang berhak menangani distribusi makanan ke sekolah-sekolah. Jadi mereka juga harus bertanggung jawab penuh atas insiden seperti ini,” pungkasnya.
Pither berharap tragedi ini menjadi pelajaran besar agar kasus serupa tidak terulang di masa depan. Ia menegaskan, urusan pangan bukan sekadar pelayanan, melainkan menyangkut keselamatan jiwa masyarakat, terutama anak-anak sekolah. (an/red)