Bandung Barat – Dunia pendidikan Indonesia kembali diguncang isu memalukan. SD Negeri Pancasila, sebuah sekolah di Desa Gudangkahuripan, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat, kini menjadi sorotan tajam.
Di balik statusnya sebagai sekolah negeri yang seharusnya gratis, muncul berbagai keluhan orangtua murid.
Mereka mengaku terbebani oleh pungutan yang diduga dilakukan secara sistematis, mulai dari uang kas Rp15 ribu, biaya komputer Rp25 ribu, iuran guru honorer Rp25 ribu, hingga pembelian buku dengan harga ratusan ribu rupiah.
“Kalau sekolah negeri saja begini, apa bedanya dengan sekolah swasta? Katanya gratis, tapi kenyataannya banyak sekali iuran,” ujar salah seorang wali murid dengan nada getir.
*Pungutan Sukarela Berubah Jadi Wajib*
Yang membuat orangtua semakin kecewa, pungutan yang awalnya disebut “sukarela” ternyata berubah menjadi kewajiban. Bahkan, tunggakan tahun sebelumnya masih ditagih.
“Waktu rapat orangtua, katanya iuran bisa seikhlasnya. Tapi nyatanya tetap ditagih terus, seolah wajib. Kalau tidak bayar, anak takut jadi berbeda dengan teman-temannya. Jadi kami terpaksa ikut saja,” tambah wali murid lainnya.
Kondisi ini menimbulkan trauma psikologis bagi sebagian orangtua. Mereka merasa tertekan secara mental, antara memilih membayar iuran atau khawatir anak mereka diperlakukan tidak adil di sekolah.
Dana BOS: Ada, Tapi Tak Dirasakan
Padahal, berdasarkan data resmi, SDN Pancasila menerima Dana BOS tahun ajaran 2024–2025 sebesar Rp288.480.000.
Dana ini seharusnya bisa mencakup kebutuhan pendidikan, termasuk buku dan tenaga pendidik honorer.
Namun, realita di lapangan justru sebaliknya. Transparansi penggunaan dana BOS nyaris tidak terlihat. Papan informasi yang dipasang pihak sekolah masih menampilkan rincian tahun ajaran 2023–2024. Itupun letaknya tersembunyi, sulit diakses oleh orangtua.
“Ada dana BOS besar sekali, tapi orangtua masih harus bayar iuran. Ini jelas janggal. Kemana perginya dana ratusan juta itu?” kritik seorang aktivis pendidikan di Bandung Barat.
Putusan MK yang Dilanggar
Kondisi ini semakin menohok mengingat adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-XXII/2024.
Putusan tersebut jelas menyatakan bahwa pungutan dalam pendidikan dasar tidak diperbolehkan. Negara memiliki kewajiban konstitusional untuk menyediakan sekolah gratis, baik negeri maupun swasta.
Namun, kasus di SDN Pancasila memperlihatkan betapa putusan tersebut seolah hanya jadi teks hukum tanpa implementasi nyata.
Kepala Sekolah Membantah, Orangtua Merasa Aneh
Saat dikonfirmasi, Kepala SDN Pancasila, Ela Komala, membantah adanya pungutan liar.
“Tidak ada pungutan. Yang ada hanya sosialisasi visi misi sekolah. Kalau pun ada iuran, itu inisiatif komite lama, bukan sekolah,” ujarnya.
Ela juga menyebut bahwa sebagian iuran, seperti biaya komputer, merupakan hasil kerja sama dengan Yayasan Al Azhar. Menurutnya, sekolah tidak ikut mengatur hal tersebut.
Namun, temuan di lapangan menunjukkan kartu pembayaran lama masih dipakai oleh pos murid kelas untuk menagih uang kepada orangtua. Lebih aneh lagi, di kartu tersebut tercantum nama bendahara Yayasan. Fakta ini membuat orangtua semakin curiga adanya permainan di balik layar.
Dampak ke Murid: Pendidikan Tersandera Uang
Bagi sebagian anak, kondisi ini menimbulkan ketidakadilan. Mereka yang tidak mampu membeli buku, harus puas hanya dengan memfotokopi.
“Tetap saja keluar uang. Kalau tidak beli buku, takut anak saya ketinggalan. Jadi akhirnya saya terpaksa beli,” ungkap wali murid lainnya.
Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan yang seharusnya memerdekakan justru tersandera oleh faktor ekonomi. Murid dari keluarga kurang mampu terpaksa menanggung beban psikologis karena merasa berbeda dengan teman-temannya.
Desakan Publik: Pemerintah Jangan Tutup Mata
Kasus ini kini menjadi sorotan luas. Banyak pihak mendesak aparat penegak hukum, mulai dari kepolisian hingga kejaksaan, untuk segera melakukan penyelidikan.
Selain itu, Bupati Bandung Barat Jeje Ritchie Ismail diminta turun langsung dan menugaskan Inspektorat Daerah melakukan audit investigatif.
“Kalau kasus ini tidak diusut, akan jadi preseden buruk. Sekolah lain bisa meniru. Ini harus dihentikan,” tegas seorang tokoh masyarakat Lembang.
Sekolah Gratis: Realita atau Slogan Politik?
Kasus SDN Pancasila mempertegas ironi pendidikan di Indonesia. Di atas kertas, sekolah dasar gratis adalah hak warga negara. Tapi di lapangan, banyak orangtua justru harus membayar berbagai iuran.
Hal ini menimbulkan pertanyaan serius: apakah sekolah gratis hanya jargon politik, tanpa keseriusan pemerintah untuk mengawalnya? (*Red/)